ASPEK HUKUM KEUANGAN DAN PERBANKAN

A. PENDAHULUAN

Kesulitan yang menimpa perekonomian Indonesia, terutama sejak terjadinya krisis

1997 yang masih berlangsung hingga tahun ini, mungkin tidak perlu terjadi apabila

antara lain dunia usaha secara sungguh-sungguh melaksanakan prinsip-prinsip

manajemen keuangan perusahaan yang sehat yakni dengan antara lain

menyeimbangkan struktur permodalan sedemikian rupa sehingga keperluan

jangka pendek benar-benar dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan jangka

pendek, sedangkan keperluan jangka penjang dibiayai dari sumber pembiayaan

jangka panjang. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan struktur permodalan

adalah pencerminan dari perimbangan antara hutang jangka panjang dan modal

sendiri dari suatu perusahaan. Perbaikan struktur permodalan dunia usaha

merupakan keharusan untuk meningkatkan efisiensi dan memperkokoh daya

saing perusahaan dalam menghadapi persaingan yang semakin tajam terutama

dalam era globalisasi3. Upaya-upaya perbaikan dapat dilakukan salah satunya

dengan memperhatikan aspek-aspek good corporate governance, yang studi dan

risetnya makin banyak dilakukan oleh berbagai institusi baik dalam lingkungan

1. Disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII, Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional di Denpasar-Bali, 14-18 Juli 2003.

2 Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Direktur Eksekutif pada Bank

Pembangunan Asia (Asian Development Bank)

3 Jusuf Anwar, Peranan Hukum Sebagai Sarana Perdagangan Surat Berharga Jangka Panjang Dalam

Rangka Pembangunan Nasional, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung

Nasional maupun internasional. Globalisasi yang ditandai dengan adanya

perapatan dunia (compression of the world) telah mengubah peta perekonomian,

politik, dan budaya. Pergerakan barang dan jasa terjadi semakin cepat. Modal dari

suatu negara beralih ke negara lain dalam hitungan detik akibat pemanfaatan

teknologi informasi. Sejalan dengan itu, kegiatan perbankan sebagai urat nadi

perekonomian bangsa tidak luput dari dampak globalisasi. Dalam menjalankan

fungsi intermediary, perbankan menjadi pelaku ekonomi yang berperan

memudahkan lalu lintas dana melalui jasa transfer via media elektronik. Salah satu

permasalahan hukum dalam jasa perbankan adalah belum adanya peraturan yang

memberikan rambu-rambu bagi kegiatan transfer dana elektronik ini, seperti dasar

hukum transfer dana, status kepemilikan dana transfer, perlindungan hukum bagi

pengirim dan penerima dana transfer dalam hal terjadi kesalahan yang ditimbulkan

oleh pihak bank, kedudukan pemilik dana dalam hal ini bank dilikuidasi atau pailit.

Permasalah-permasalahan di atas memerlukan aturan agar memberikan

kepastian hukum bagi pengguna jasa perbankan.

Aspek-aspek hukum lain di dalam bidang keuangan dan perbankan juga banyak

mewarnai problematika di bidang ekonomi dan hukum, misalnya penyimpangan

BLBI, prudential principles yang dihadapkan dengan penurunan fungsi

intermediasi perbankan, munculnya fenomena fee-based income dalam praktik

perbankan, dan berbagai persoalan ekonomi-hukum lainnya, yang kesemuanya itu

perlu memperoleh perhatian kita bersama. Penerapan prinsip kehati-hatian

(prudential banking principles) dalam seluruh kegiatan perbakan merupakan salah

satu cara untuk menciptakan perbankan yang sehat, yang pada gilirannya akan

berdampak positif terhadap perekonomian secara makro. Implementasi prinsip ini

harus menyeluruh, tidak hanya menyangkut masalah pemberian kredit, tetapi

dimulai saat bank tersebut didirikan, penentuan manajemen yang memenuhi uji

kecukupan dan kelayakan (fit and proper test) yang tidak bersifat seremonial.

Ketentuan Bank Indonesia yang mewajibkan fit proper test bagi pengurus bank

masih memiliki banyak kelemahan, seperti masih dimungkinkannya pengurus yang

tidak lulus tes untuk tetap bertahan walaupun harus bertanggungjawab secara

pribadi.

Disamping itu, dalam memberikan kemudahan akses kepada para nasabahnya,

maka penggunaan mesin-mesin ATM, debit card dan credit card berpotensi untuk

merugikan nasabah melalui pembobolan rekening, kerusakan mesin, dan

kesalahan-kesalahan teknis lainnya yang belum tersentuh oleh rambu-rambu

hukum. Kewajiban bank untuk menyediakan mesin-mesin yang layak dan aman

seharusnya mengacu pada standart tertentu, yang secara berkala seharusnya

ditera/dikalibrasi ulang. Selama ini belum ada keseragaman mengenai standar

mesin yang layak untuk dioperasikan. Kasus-kasus yang menunjukkan bahwa

kerugian nasabah yang disebabkan tidak layaknya mesin yang digunakan sudah

cukup banyak mendorong dibuatnya standarisasi setiap teknologi yang digunakan.

Tanpa menafikkan keberadaan lembaga peradilan, praktik perbankan memerlukan

penyelesaian kasus-kasus perbankan yang ditangani secara professional,

menjamin stabilitas perekonomian dan kepercayaan masyarakat dan perbankan.

Kasus-kasus perbankan yang ditangani secara bertele-tele, publikasi yang gencar

dan peradilan yang tidak independen, akan meruntuhkan reputasi perbankan.

Oleh karena itu, perlu adanya gagasan untuk menciptakan mekanisme

penyelesaian yang efesien, efektif dan tetap menjaga reputasi perbankan4.

Hal penting lainnya adalah berkaitan dengan Lembaga Penjamin Simpanan.

Sebagai mana di amanatkan oleh UU Perbankan, pembentukan Lembaga

Penjamin Simpanan harus sesegera mungkin diwujudkan menyusul akan

dihapuskannya kewajiban pemerintah sebagai penjamin dan berakhirnya tugas

BPPN. Aspek hukum yang perlu diperhatikan adalah mengenai status Lembaga

Penjamin Simpanan, perolehan dana jaminan dan pemanfaatan dana jaminan,

yang harus dituangkan dalam peraturan yang jelas. Selain itu, berkaitan dengan

berakhirnya tugas BPPN, perlu adanya lembaga sementara yang bertugas

4 Bandingkan dengan lembaga pasar modal yang sudah memiliki BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia).

menyelesaikan seluruh kewajiban BPPN, terutama transaksi-transaksi yang sudah

dilakukan, dan bahkan kemungkinan tuntutan hukum, apabila dalam pengelolaan

aset, BPPN telah melakukan kesalahan atau perbuatan melawan hukum.

Dalam upaya untuk mengcover banyaknya masalah dalam praktik keuangan dan

perbankan nasional tentu bukan hal yang mudah untuk dibahas dalam sebuah

paparan singkat, maka pada hubungan itulah paper ini akan berupaya membahas

lebih lanjut esensi dari berbagai permasalahan yang telah dianalisir dimuka

melalui pembahasan beberapa aspek hukum sektor keuangan dan perbankan,

yang dalam pembahasannya akan mengacu pada beberapa permasalahan utama

yang berkaitan dengan masalah sistem hukum, penerapan good corporate

governance dalam sistem keuangan dan perbankan nasional, dan juga peran

hukum dalam mengakomodasi berbagai fenomena yang terjadi dalam bidang

keuangan dan perbankan.

B. PEMBAHASAN

1. Dualisme Sistem Hukum

Sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental

merupakan dasar bagi para penegak hukum untuk menggunakan hukum

positif dari sistem Eropa Kontinental tersebut dalam membuat setiap

keputusan. Namun di sisi lain, cukup banyak peraturan perundang-undangan

pada sektor keuangan dan perbankan yang sangat dipengaruhi oleh sistem

hukum Anglo Saxon atau Common Law. Aplikasi kedua sistem hukum yang

berbeda tersebut dalam hukum positif di Indonesia pada sektor keuangan dan

perbankan dalam banyak hal telah mengakibatkan dis-harmoni, yang dapat

terlihat dari pengaturan yang tidak konsisten satu sama lain dari kedua sistem

hukum tersebut yang berpadu dalam suatu materi yang sama.

Sebagai misal, dalam perdagangan surat berharga tanpa warkat (scriptless

trading) umumnya dipergunakan aplikasi teknologi. Hal ini telah menjadi ciri

umum perdagangan di berbagai negara maju maupun di beberapa negara

berkembangan lainnya, termasuk Indonesia. Praktik scriptless trading ini hanya

dimungkinkan apabila disertai dengan suatu tanda tangan digital yang tidak

dikenal dalam sistem hukum positif di Indonesia, yang akan mengakibatkan

perdagangan tersebut tidak sah sehingga batal dengan sendirinya atau dapat

dibatalkan.

Ketimpangan ini umumnya diselesaikan dengan suatu aturan yang mempunyai

tingkat hierarkhi yang lebih rendah dari Undang-undang. Hal ini dapat saja

dilakukan sepanjang tidak terjadi suatu perselisihan hukum. Namum dalam hal

terjadi perselisihan hukum, maka akan menjadi hal penting untuk di

indentifikasi adalah “sistem hukum mana yang akan dianut oleh para penegak

hukum?”. Jawaban tentu saja “sistem hukum positif Indonesia yakni sistem

hukum Kontinental”. Namun keadaan ini sebenarnya merupakan tantangan

bagi para ahli hukum dalam menerapkan konsep “hukum sebagai sarana

pembaharuan” yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja, yang

bermula dari konsep “law as a tool of social engineering” dari Roscoe Pound.

Dengan demikian, hukum harus diciptakan untuk kepentingan masyarakat dan

bukan sebaliknya.

Namun demikian masalah dualisme sistem hukum ini, dapat pula dipandang

sebagai suatu konvergensi positif dari dua sistem hukum yang berbeda.

Konvergensi kedua sistem hukum ini disebabkan utamanya oleh

perkembangan ekonomi dan Internasionalisasi pasar 5. Jadi, sebagai

multiplier effect dari konvergensi di bidang ekonomi, maka pada instansiinstansi

hukum yang relevan dengan bidang ekonomi juga terjadi konvergensi.

Dengan bidang ekonomi juga terjadi konvergensi. Walaupun ada konvergensi

ekonomi yang berakibat pada konvergensi di bidang hukum, pada

kenyataannya tidak semua aspek hukum yang bersifat prosedural tidak

5 Pistor, Katharina and Philip A. Wellons, The Role Of Law and Legal Institutions in Asian Economic

Development. Oxford University Press, New York-USA, 1999, hlm. 282.

terdapat konvergensi6. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan budaya

dan tradisi hukum di masing-masing negara7. Dengan dipandangnya

pertemuan yang tidak terhindarkan dari kedua sistem hukum yang berbeda ini,

maka konvergensi ini dapat lebih memudahkan regulasi yang akomodatif dan

kondusif bagi kebutuhan bisnis dan ekonomi. Patut pula dicatat faktor penting

lain yaitu kebijakan ekonomi jyang dilakukan oleh pemerintah dari negaranegara

Asia yang menjadi kunci yang determinan bagi perubahan sistem

hukum antara 1960 hingga saat ini 8.

2. Penerapan Good Corporate Governance (GCG)

Menarik untuk disimak kutipan berikut,

Good corporate governance of banks is the sine qua non of a sound banking

system. For individual banks it can reduces the cost of capital and enhance

shareholder value. The Asia Banking crisis has, in part, been attributed to

serious inadequacies in the governances of banks. Governance restructuring

will have to accompany bank restructuring. If the latter is to be sustainable.

Good bank governance may not work in isolation. It will need to be

accompanied by good governance in the major constituents of the economic

including the governance of central banks, banking supervisory agencies and

in the corporate sector. The post-crisis period has created an environment

where most of the major actors in Asia are now willing to implement

governance reforms. Not only as a way to ensure survival, but also as a

competitive weapon’’9.

Bagi perusahaan, GCG merupakan asset dan memerlukan komitmen dan

investasi. Kultur governance harus ditumbuhkan termasuk aspek pengambilan

keputusan dalam suatu manajemen. Daftar manfaat dari kepatuhan terhadap GCG

6 Ibid, hlm, 263.

7 Ibid, hlm, 272

8 Ibid, hlm, 273

9 Mathur, Arvind dan Jimmy Burhan, The Corporate Governance Of Banks: CAMEL-IN-A-CAGE, paper

dalam konferensi Internasional tentang ‘Asian Revival; Risk, Change and Opportunity, Asian

Development Bank, Manila-Philippnes,2001 hlm 1. Lihat pula diskusi menarik tentang GCG pada sektor

perbankan

sudah cukup panjang, yang semuanya bermuara pada naiknya nilai tambah

pemegang saham (increasing shareholder value).

Contoh konkrit adalah huutang perusahaan-perusahaan swasta yang di bailed out

dengan kebijakan ‘blanket guarantee’ semata-mata membuktikan bahwa

sebahagian utama sektor kooperasi yang seharusnya menjadi pemain utama

ekonomi tidak lagi berfungsi sebagai asset negara. Perusahaan-perusahaan

swasta ini menjadi beban (liabilities) yang kiprahnya telah menimbulkan hutang

baru yang harus ditanggung renteng oleh para anak, cucu dan cicit kita.

Lemahnya sektor korporasi ini telah menyebabkan mereka makin jauh dari

peranannya sebagai ‘engine of growth* atau sebagai primadona pembangunan.

Ekonomi telah beralih ke ekonomi fiskal, ekonomi APBN, yang artinya sepanjang

APBN aman maka demikian pula kinerja ekonominya. Di sisi lain, kita masih

beruntung karena masih memiliki UKM (usaha kecil-menengah) dan sektor

informal yang tinggi daya resistensinya terhadap gejolak yang timbul. Sektor inilah

yang mampu menyerap angkatan kerja serta menggairahkan mekanisme pasar

melalui permintaan dan penawarannya. Jumlah bunga obligasi yang dibayarkan

oleh pemerintah itulah yang masih mampu memutar roda ekonomi. Kota saat ini

hidup di ‘kebun bunga’. ‘Peranan bunga’ sangat dominan malah sektor perbankan

itu sendiri hidup dari memetik ‘bunga’ apakah itu dari obligasi pemerintah maupun

SBI. Penerimaan operasional perbankan kita relatif kecil disbanding dengan

penerimaan lain-lain. Penerimaan dari bunga termasuk ke dalam kelompok lainlain

tersebut. Oleh karenanya dengan segala daya kita harus mampu menjaga

agar pemerintah tidak ingkar janji (default) dalam pemenuhan kewajibannya

membayar bunga. Default hanya berarti ‘ the beginning of the end’ dan orang akan

mulai menengok pada krisi perbankan yang kedua.

* dalam artikel Ratna Januarta, Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan, Jurnal

Ilmu Hukum Litigasi, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Vol 4, nomor 2, Juni 2003, hlm.

103-117

Penyebab utama dari lemahnya pondasi ekonomi makro Indonesia dibuktikan

dalam studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000

di beberapa negara Asia Timur, khususnya Indonesia, Korea, Philippines dan

Thailand, yang menyimpulkan bahwa: ‘countries that sufferes dramatic reversals of

fortune during the Asian financial ciris have identified weaknesses in corporate

governance as one of the major sources of vulnerabilities that led to their

economic meltdown in 1997’’10.

Dilain pihak, Presiden Asian Development Bank, Mr.Tadao Chino pernah

mengatakan bahwa, “…. A dynamic private sector is critical to achieving propoor,

sustainable economic growth....”11. Dalam hal ini sektor korporasi erat kaitannya

dengan usaha pengentasan kemiskinan baik langsung maupun tidak langsung.

Dalam kesempatan yang sama, pernyataan senada juga disampaikan oleh banyak

pihak yang mewakili negara maju maupun yang mewakili negara berkembang,

dalam hal ini mereka menggaris-bawahi arti penting dan peran GCG dan arti

strategis peran sektor swasta dalam pembangunan.

Sektor korporasi yang mampu berperan positif bagi pembangunan ekonomi adalah

sektor korporasi yang merupakan aset nasional dan bukan mereka yang hanya

menjadi beban dan parasit masyarakat. Kelompok sektor koporasi ini adalah

kelompok yang patuh pada tata kelola korporasi yang baik, taat pada aturan main

dan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan kata lain, adalah mereka yang

mampu mempraktikkan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dalam

menjalankan usahanya.

Dalam kehidupan saat ini GCG harus merupakan komitmen, dan komitmen ini

membutuhkan investasi. Pembentukan beberapa komite seperti Komite Audit,

Komite Anggaran, dan lain sebagainya, termasuk pula pengangkatan Komisaris

dan Direksi Independen akan memerlukan biaya. Demikian pula penegakkan

10 Zhuang Juzhong et al. Corporate Governance and Finance in East Asia. Vol 1 Asia Development Bank

2000 hlm 1.

11 Chino, Tadao, opening Speech in Asian Development Banks Annual Meeting, Honolulu,USA, May 2001

transparansi, akuntabilitas dan tanggungjawab memerlukan publikasi dan

sosialisasi yang tidak budget neutral.

Manfaatnya sudah banyak terbukti, bahwa GCG menaikkan nilai tambah para

pemegang saham perusahaan. Namun, merubah kultur dan etos kerja tidak pula

mudah, termasuk sulitnya memperbaiki cara pengambilan keputusan dan merubah

perilaku manajemen. Dalam banyak segi, penerapan GCG baru sampai pada

tahap retorika. Keengganan menerapkan GCG lebih banyak disebabkan karena

sikap yang menilai bahwa GCG sebagai beban dan bukan sebagai aset

perusahaan.

Dengan demikian GCG sulit dimulai apabila orang masih bersikap skeptis. Hal ini

terlihat dari masih banyaknya yang beranggapan bahwa GCG itu tidak perlu

karena tidak adanya sanksi dan insentif. Perusahaan yang tidak menerapkan GCG

malah dinilai lebih maju, karena prinsip keterbukaan perusahaan bagi sementara

pihak dianggap lebih banyak negatif atau mudharatnya.

Namun di sisi lain, banyak juga perusahaan-perusahaan yang mudah merasakan

nilai tambah dari aplikasi GCG, seperti lebih mudanya akses ke pasar modal

Internasional serta banyaknya investor yang bersedia membayar premi yang lebih

tinggi bagi saham perusahaan yang telah menerapkan GCG. Dalam hubungan ini

kiranya perlu pula digalakkan penerapan label khusus bagi perusahaan yang

sudah menerapkan GCG seperti diberikan ISO khusus untuk GCG. Perusahaan

yang sudah menerapkan GCG akan membawa bendera bonafiditas. Efek positif

lainnya adalah mampu merekrut tenaga yang terbaik yang ada dipasar tenaga

kerja pada saat ini, tenaga professional lebih bersikap kritis dalam mencari

pekerjaan. Kelompok tenaga profesional ini hanya ingin bergabung dengan

perusahaan terbaik termasuk didalannya kepatuhannya terhadap praktek etika

bisnis. Bekerja pada perusahaan yang “brengsek” hanya akan membawa petaka.

Para karyawan akan selalu terbawa-bawa ketika perusahaan memperoleh

masalah. Oleh karena itu pula, paradigme shareholder oriented sudah bergeser ke

paradigma stakeholder oriented.

GCG pada dasarnya mencakup etika bisnis, kumpulan etika ini dimuat dalam code

of GCG. Dibutuhkan kesukarelaan dari pihak korporasi dalam mematuhi code ini12.

Tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak menaatinya karena memang sifatnya

voluntary compliance. Code atau pedoman sejenis ini biasanya pula diterbitkan

oleh lembaga/asosiasi profesi yang tidak mempunyai kewenangan publik,

misalnya Perbanas. Dalam pelaksanaannya, agar pedoman semacam ini dapat

dipaksakan, maka pedoman ini harus dikeluarkan oleh instansi/lembaga yang

mempunyai kewenangan mengatur. Oleh karena itu pula, banyak ketentuan

pedoman GCG yang diambil alih oleh Peraturan Perundang-undangan yang

berlaku dan masyarakat diwajibkan untuk mematuhinya (mandatory compliance).

Disini dapat di terapkan sanksi bagi para pelanggarnya. Sebagai contoh adalah

ketentuan-ketentuan tentang praktik GCG dalam UU Perseroan Terbatas, UU

Pasar Modal, UU Perbankan dan juga peraturan pelaksanaanya.

Pada banyak negara berkembang, pelaksanaan GCG lebih didorong karena

adanya rasa takut terhadap sanksi yang ada, atau takut kepada para penguasa.

Peraturan yang berlaku menyediakan berbagai sanksi perdata maupun pidana,

bagi para pelanggarnya, apalagi saat ini di mana ultimum remedium lebih

menonjol dari primum remendium. Inilah sikap pentaatan terhadap GCG yang

bersifat regulatory driven dan bukan atas dorongan professional driven dan ethic

driven.

Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa GCG harus dianggap

sebagai asset yang tidak berwujud (intangible asset) yang akan memberikan hasil

balik yang memadai dalam hal memberikan nilai tambah kepada para pemegang

saham. GCG juga harus menajdi way of life atau kultur perusahaan yang dapat

dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan serta menjadi pedoman

perilaku manajemen.

12 Di Indonesia antara lain diterbitkan oleh Komite Nasional untuk GCG

Prinsip-prinsip responsibility; accountability, fairness, dan transparency yang

pertama kali diperkenalkan oleh OECD menjadi suatu prinsip dasar yang diadopsi

dan diadaptasi oleh banyak institusi dalam menyusun pedoman GCG. Dalam

konteks perbankan, apabila suatu bank akan go public, maka harga sahamnya di

pasar harus mencerminkan keempat prinsip dasar tersebut. Pasar yang efektif dan

efisien hanyalah pasar yang mampu mencerminkan harga yang telah

mengakomodasikan semua informasi yang ada. Praktek tercela insider trading

misalnya, tidak mencerminkan harga yang sebenarnya karena informasi yang

dapat mempengaruhi harga hanya dimiliki oleh para insiders yang melakukan

perdagangan.

Survey terakhir Mc Kinsey pada tahun 2002 membuktikan bahwa investor

bersedia membayar premium bagi ‘awell-governed company’. Untuk Indonesia

mereka bersedia membayar premi sebesar 27%. Suatu kesimpulan yang dapat

ditarik dari survey tersebut adalah bahwa semakin rendah tingkat budaya GCG

pada suatu negara maka premium yang akan diberikan akan semakin tinggi

kepada perusahaan yang menerapkan GCG13. Dalam hal ini, para investor akan

sangat menghargai manajemen perusahaan yang berani melakukan hal positif di

dalam tata kelola perusahaan walaupun lingkungannya tidak mendukung. Dengan

demikian, tidak ada pilihan lain, bagi sebuah bank yang merupakan lembaga

bisnis kepercayaan selain menerapkan konsep GCG termaksud.

Demikian pula komisaris dan direksi yang sudah berada pada jaman dan nuansa

pengelolaan bisnis yang berubah dimana suatu perusahaan yang tinggi daya

resistensinya terhadap berbagai krisis dan tinggi sustainabilitynya, hanyalah

perusahaan dengan tata kelola yang bernuansa GCG. Selaku leader of the last

resort, Bank Sentral juga harus mengeluarkan pedoman GCG yang dapat diikuti

oleh kalangan perbankan. Di dalam pedoman yang bersifat voluntary ini, harus

dimuat hal pokok dimana kewajiban pemenuhannya bersifat mandatory. Sistem

reward and punishment harus diperkenalkan. Hingga saat ini, belum ada satu

13 Ratna Jakarta, op sit, hlm. 106

bank pun yang mampu mengibarkan bendera GCG sebagai salah satu

bonafiditasnya. Belum ada benchmark bagi suatu bank yang fully GCG.

the legal framework in a country is as vital for economic development as for

political and social development. Creating wealth through the cumulative

commitmen of human, technological and capital resources depends greatly on

a set of rules securing property rights, governing civil and commercial

behaviour, and limiting the power of the state…. The legal framework also

effects the lives of the poor and , as such, has become an important dimension

of strategies for poverty alleviation. Ini the strunggle against discrimination, in

the protection of the socially weak, and in the distribution of opportunities in the

society, the law can make an important contribution to a just and equitable

society and thus to prospects for social development and poverty alleviation’’14

pernyataan yang optimis dari World Bank tersebut merupakan referensi yang

bermanfaat untuk mendiskusikan peran hukum dalam pembangunan. Esensi dari

pernyataan tersebut antara lain menggaris-bawahi bahwa kerangka kerja hukum

dalam suatu negara adalah sangat penting bagi perkembangan ekonomi, politik

dan sosial. Kerangka hukum yang ditata baik sejak awal akan menciptakan efek

domino yang baik pada berbagai sektor kehidupan bernegara, dan sebaliknya.

Dalam kerangka mencapai sasaran berbagai perkembangan dan pembangunan

tersebut hukum harus menampakkan perannya. Dalam kaitannya dengan

kerangka dasar pembangunan nasional, hukum mewujudkan diri dalam 2 wajah,

yaitu di satu pihak hukum memperketatkan diri sebagai suatu aspek

pembangunan, artinya bahwa hukum itu diikat sebagai suatu faktor dari

pembangunan itu sendiri yang perlu untuk mendapat prioritas dalam usaha

penegakan pembangunan dan pembinaannya15. Di lain pihak hukum itu harus

dipandang sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat yang

akan menentukan keberhasilan usaha-usaha pembangunan nasional. Berkaitan

dengan masalah hubungan hukum dengan pembangunan ini, terdapat berbagai

14 World Bank, Governance: The world Bank’s Experience: The World Bank Washington DC, 1994

sebagaimana dikutip dalam Mc Auslan, Patrick, Law, Governance and the development of the market

practical problems and possible solutions dalam Faundez, Julio, Ed, Good Government and Law-Legal

and Institution Reform in Developing Countries The British Council, 1997, hlm 25

15 Jusuf Anwar, op cit, hlm 33.

konsep yang diajukan oleh pakar hukum. Pada umumnya mereka berpendapat

bahwa dalam pembangunan yang dilaksanakan, hukum berfungsi bukan hanya

sekedar “as a tool of social control” atau sebagai alat yang berfungsi

mempertahankan stabilitas, tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Roscoe

Pound, hukum juga berfungsi sebagai “as a tool of social engineering”16.

Sehubungan dengan hal ini Sumaryati Hartono berpendapat, penyusunan UUD

1945 sebenarnya beranjak pada filsafah futuristik yang antara lain dikemukakan

oleh Roscoe Pound, dan yang sekarang dikenal sebagai falsafah hukum yang

melihat peranan hukum sebagai a tool of social engineering. Falsafah ini di

Indonesia disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai falsafah yang

memberikan peranan kepada hukum sebagai sarana pembangunan, yang

pendekatannya ternyata memang sudah diterapkan oleh penyusun UUD 194517.

Hukum hanya berpegang pada kewenangannya untuk mengatur, memerintah,

memaksa, serta melarang dan sebagainya, tanpa menanyakan apakah ketentuan

yang dibuatnya dapat dijalankan secara efektif. Oleh karena itu, di dalam “social

Engineering” ini sangat penting peranan dan umpan balik (feedback), agar

pengaturan itu senantiasa dapat disesuaikan dengan keadaan yang timbul di

masyarakat. Apabila hukum itu dilihat sebagai suatu sarana penunjang terhadap

pembangunan maka fungsi hukum itu harus mempunyai suatu pola tertentu.

Konsep Mochtar Kusumaatmadja terasa memiliki ruang lingkup yang sangat luas –

lebih daripada Roscoe Pound sendiri sebagai orang pertama yang

mengkonsepsikan fungsi hukum sebagai tool seperti dijelaskannya: “Dalam

artinya yang luas maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas

dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat

16 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale Unversity Press, USA, 1854, hlm 47,

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,

Bandung, LPHK FH UNPAD, Binacipta, Bandung 1976, hlm, 11-12

17 Mochtar Kusumaatmadja, hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, LPHK. UNPAD,

Binacipta, Bandung 1976, hlm 9 Suatu uraian tentang landasan pikiran, pola dan mekanisme

pembaharuan hukum di Indonesia.

melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses

(process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah dalam kenyataan”18.

Dalam sistem hukum ini, hukum pembangunan (development) meliputi segala

tindakan dan kegiatan yang memperkuat infrastruktur hukum seperti lembaga

hukum, organisasi profesi hukum, lembaga-lembaga pendidikan hukum serta

segala sesuatunya yang berkenaan dengan penyelesaian problem khusus

“pembangunan”. Konsepsi hukum pembangunan selaras dengan orientasi baru

mengenai pengertian hukum yang dikemukakan oleh A. Vilhem Rusted yang

mengatakan bahwa hukum itu adalah the legal machinery in action yaitu sebagai

suatu kesatuan yang mencakup segala kaidah baik yang tertulis maupun yang

tidak tertulis, prasarana-prasarana seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,

Advokat dan keadaan diri pribadi daripada individu penegak hukum itu sendiri

bahkan juga fakultas hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum19.

Dengan demikian paradigma “hukum sebagai jawaban atas masalah yang timbul’

harus diubah menjadi paradigma ‘hukum yang mampu melihat ke depan’ (forward

looking) terhadap berbagai kemungkinan terjadinya kasus perdata maupun pidana

yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai akibat dibukanya dunia cyber.

Perkembangan teknologi tidak saja menumbuhkan kemajuan ekonomi, akan tetapi

pula membuka peluang bagi pelaku kejahatan untuk memanfaatkan dunia yang

menjadi seamless dan borderless. Contoh yang umum adalah relevan dengan

terjadinya peluang kejahatan seperti tindakan pencucian uang serta adanya rezim

devisa bebas yang telah dianut Indonesia sekitar tiga dekade belakangan ini.

Contoh lain adalah penerapan sistem ‘single entry’ untuk akuntasi keuangan

pemerintah yang diberlakukan ICW di satu pihak, dan dipihak lainnya adalah

kebutuhan untuk menerapkan sistem ‘double entry’ sesuai dengan Standar

keuangan Internasional. Merupakan kenyataan yang sangat menggembirakan

18 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, cetakan Kedua

LPHK FH UNPAD, Binacipta, Bandung, hlm 11

19 S. Tasrif, peranan Hukum dan Pembangunan, Primsa no. 6 Tahun ke III, 1993, hlm 5

bahwa saat ini telah terdapat penyesuaian terhadap ketentuan Perundangundangan

keuangan negara, antara lain diundangkannya UU Keuangan Negara

(2003) yang akan diikuti dengan UU Perbendaharaan Negara serta UU

Pengawasan Keuangan Negara. Kedua ketentuan yang terakhir dan masih dalam

bentuk rancangan Undang-Undang tersebut saat ini sedang dalam pembahasan

intensif antara pemerintah dan DPR yang diharapkan selesai dalam tahun 2003.

hal ini merupakan contoh responsifnya hukum terhadap kebutuhan ekonomi walau

sangat terlambat. Sebagai informasi tambahan, pembahasan konsep UU

Keuangan Negara telah digarap oleh tidak kurang 15 tim sejak sekitar 30 tahun

lalu.

C. PENUTUP

1. Terjadinya dualisme hukum sebaiknya disikapi sebagai suatu hal yang positif

dan dapat lebih memudahkan regulasi yang akomodatif dan kondusif bagi

kebutuhan bisnis dan ekonomi. Faktor penting lainnya yaitu kebijakan ekonomi

yang dilakukan oleh pemerintah dari negara-negara Asia menjadi kunci yang

diterminan bagi pergeseran dan perubahan sistem hukum di banyak negara

Asia antara 1960 hingga saat ini. Namun demikian, perpaduan sistem hukum

ini belum dapat diklaim sebagai kovergensi penuh dan total dari kedua sistem

kontinental dan Anglo Saxon, karena aspek-aspek lain yang bersifat

prosedural banyak dibentuk dari sejarah, budaya dan tradisi hukum masingmasing

negara.

2. Penerapan good corporate governance harus dilakukan penuh kesadaran atau

komitmen yang tinggi dari berbagai pihak dan kalangan. Dalam konteks

keuangan dan perbankan, hal ini akan menjadi tugas setiap elemen

perusahaan yang bergerak di sektor keuangan dan perbankan, asosiasi

keuangan dan perbankan, BPPN, dan juga Bank Sentral.

3. Perubahan paradigma tentang peran hukum, serta dari ‘hukum yang mengikuti

perkembangan ekonomi dan masyarakat’ menjadi ‘hukum yang berorientasi ke

depan yang mampu mengantisipasi dan mengakomodasi serta menjembatani

masalah hukum dan ekonomi dalam masyarakat nasional, namun juga

akomodatif dan mampu berintegrasi dengan ketentuan-ketentuan internasional

yang relevan, menjadi suatu kebutuhan yang mendesak bagi perkembangan

ekonomi dan hukum.

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© GO . . . BLOG | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger